News and Documentation

Menghayati Tantangan Pendidikan Karakter

HBSE

SEBUAH pepatah klise menyatakan, ”Sebanyak apapun kata-kata nasehat yang orang tua berikan pada anak, tetap yang lebih banyak diikuti oleh anak adalah apa yang orang lakukan dan disaksikan sang anak”.

Maknanya, anak belajar dari apa yang diamati, diobservasi setiap hari dari lingkungan terkecil (orang tua-keluarga) sampai lingkungan terbesar (sekolah, masyarakat), termasuk dunia maya (media sosial/digital).

Apakah hal yang dominan yang menjadi obyek observasi generasi muda bangsa ini sekarang? Secara sepintas lalu, kita dapat menghitung kualitas dan kuantitas stimulus (baik pada dunia maya/nyata), pada sistem ekologis kita yang akan diserap oleh anak-anak (generasi penerus).

Hal itu tentu penting dalam membangun generasi. Tulisan ini bukan untuk menunjukkan keprihatinan, tetapi lebih kepada ajakan untuk turut peduli dan memikirkan proses alamiah pembetukan karakter generasi masa depan. Karena, sungguh sulit menghitung stimulus pembelajaran yang berpontensi diserap melalui panca indera anak, yang mampu membangun karakter positifnya.

Di sisi lain, sangat mudah kita prihatin saat ini melihat ribuan jenis stimulus, hadir berlawan arah dengan pembentukan karakter positif. Negera ini memerlukan generasasi penerus yang baik, yang dapat mempertahankan kestabilan masyarakat sebagai organisme biologis.

Perspektif struktural fungsional (Wirutomo, 2022) menjelaskan, masyarakat merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya saling terikat dalam suatu pola keteraturan tertentu (struktur sosial) dan memiliki fungsi khas dan saling bergantung secara fungsional satu sama lain.

Kesalingtergantungan itu, tentunya harus terus dijaga agar tetap pada level saling bergantung dan saling memengaruhi pada hal-hal kebaikan. Bukan sebaliknya, dukung-mendukung dalam hal yang tidak memberikan dampak positif pada pembentukan karakter anak.

Blumer (Chawa, 2021), tokoh sosiologi dengan teorinya tentang interaksionisme simbolik menyatakan: (1) Masyarakat terbentuk dari kumpulan interaksi sosial antar individu setiap harinya; (2) Individu-individu tersebut menggunakan simbol dan bahasa saat berinteraksi satu dengan yang lainnya; (3) Makna dari simbol-simbol yang digunakan akan selalu mengalami perubahan; (4) Setiap individu memiliki ide, perasaan dan pemikiran yang berbeda-beda dalam memaknai atau mengartikan simbol-simbol tersebut.

Maka, melalui pemahaman itu, sangat disadari bahwa kita semua bertanggung jawab untuk menghadirkan ekosistem terbaik bagi pembelajaran anak, khususnya dalam pembentukan karakternya. Para praktisi pendidikan mengemban amanah untuk membangun ragam interaksi sosial, yang ditandai dengan adanya kontak dan komunikasi, melalui simbol-simbol kondusif, yang dapat membangun ide, perasaan dan pemikiran yang positif.

Sekaligus, melalui pemahaman ini, kita dapat membayangkan potensi buruk hasil pendidikan karakter, jika ragam interaksi yang terjadi di masyarakat bukanlah stimulus baik bagi peningkatan moralitas (karakter positif), seperti yang mudah sekali ditemui dewasa ini.

Sumber: https://www.kompas.com/edu/read/2023/02/22/155634171/menghayati-tantangan-pendidikan-karakter.